Oleh:
Ade Suganda
Monday, 26 March 2018
Hilda (ilustrasi) sumber: google |
Halo perkenalkan namaku Ilham berasal dari kota Medan, aku berumr 22 tahun dan sedang menjalankan kuliah di kota Jogja. Aku mempunyai pacar yang juga sebaya denganku, kami bertemu di kota ini karena dia juga sedang berkuliah di kota kesultanan ini.
Hilda namanya, seorang anak pintar yang cenderung pendiam. Hilda bukanlah orang asli Jogja, ia juga datang ke kota pelajar ini hanya untuk menjalankan kuliah. Hilda adalah orang Solo, tetapi aku kurang begitu tau seluk-beluk keluarga Hilda karena Hilda sendiri yang jarang bercerita bahkan cenderung mengelak ketika kuajak bercerita soal keluarganya di Solo dan aku juga tidak mempermasalahkan itu.
Aku juga mempunyai 3 teman dekat yaitu: Rudi, Heru, dan Sinta. Rudi dan Sinta juga berasal dari kota Medan, sedangkan Heru berasal dari kota Bandung. Kami seringkali melakukan banyak hal bersama karena kami memang sangat dekat. Apalagi Sinta seringkali saling curhat dengan Hilda.
Meskipun begitu, Sinta yang sering diajak curhat oleh Hilda pun tidak begitu tau tentang asal dan keluarga Hilda di Solo. Hilda tidak pernah mau diajak bercerita tentang masa kecilnya sekalipun.
Pernah suatu waktu ketika aku baru dekat dan rajin chat dengan Hilda, Hilda bercerita bahwa dirumahnya di Solo yang melakukan semua pekerjaan rumah adalah Hilda sendiri. Padahal Hilda mempunyai seorang adik perempuan yang umurnya tidak jauh dari Umur Hilda. Namanya adalah Devi, Hilda juga bercerita bahwa Devi sangatlah dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Bahkan Hilda seringkali berpikiran bahwa kedua orangtua nya lebih menyayangi Devi dibanding dirinya.
Sebelum Hilda yang melakukan pekerjaan rumah, pernah sekali keluarga Hilda mempunyai pembantu, Mbak Yani namanya. Terakhir kalinya Hilda melihat Mbak Yani ketika Hilda masih kecil dan Devi juga masih bayi. Ketika itu Hilda mengintip dari balik pintu kamar melihat Mbak Yani yang menangis-nangis sambil menggendong bayi yang tidak Hilda kenal, setelah kejadian itu Hilda tidak pernah lagi melihat Mbak Yani yang kemudian pekerjaan Mbak Yani digantikan oleh ibu Hilda sebelum semuanya diserahkan pada Hilda.
Hanya sekali itulah Hilda bercerita tentang keluarganya kepadaku, sejak saat itu sampai sekarang Hilda sama sekali tidak pernah bercerita tentang keluarganya dirumah kepada siapapun. Aku tau kalau dia tidak pernah bercerita pada siapapun karena aku sudah menanyakannya pada teman-teman yang lain dan mereka juga sama sekali tidak tau menahu tentang keluarga dan masa kecilnya Hilda di Solo.
Kami sangat senang sekali ketika memutuskan untuk liburan bersama ke rumah Hilda di Solo. Selain karena ini pertama kalinya kami berlima liburan bersama, dengan liburan ke Solo kami juga bisa mengenal keluarga Hilda yang selama ini membuat kami penasaran.
Tetapi, yang paling senang dan bersemangat diantara kami adalah Hilda sendiri, raut wajah dan perilakunya menunjukkan bahwa Hilda begitu bahagia dan bersemangat. Hilda berkali-kali menjelaskan rencananya nanti ketika kami sudah tiba dirumahnya seperti memetik rambutan dan berjalan-jalan di persawahan yang katanya tidak begitu jauh dari rumahnya.
Jarang sekali kami melihat Hilda sebahagia itu, kami berempat turut senang melihatnya bahagia dan semangat seperti itu. Bahkan sesampainya di kos, aku masih terbayang raut wajah bahagia Hilda yang sangat tidak sabar untuk mengajak kami berlibur ke kampung halamannya.
Akhirnya, hari yang sangat kami tunggu-tunggu telah tiba. Hari ini kami berlima akan berangkat ke kota Solo dengan menaiki Bis.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang-lebih 2 jam lamanya akhirnya kami tiba di terminal Solo dan kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Hilda dengan menaiki angkutan umum.
Dari terminal Solo, mungkin kami menghabiskan waktu kurang-lebih 1 jam untuk menuju kerumah Hilda, dan ternyata rumah Hilda melewati beberapa gang yang kemudian mengharuskan kami untuk turun dari angkot dan berjalan menuju rumahnya.
Ketika baru saja turun dan Hilda sedang membayar ongkos kami, kami dikejutkan dengan 2 anjing entah jenis apa berlari dari dalam gang rumah Hilda dengan berdarah-darah. Begitu anjing-anjing itu melewati kami, kami lihat ekor kedua anjing itu yang sepertinya sudah dipotong oleh seseorang. Terkejutnya kami melihat pemandangan seperti itu, terlebih lagi kebanyakan dari kami apalagi aku sendiri adalah seorang penyayang binatang.
Setelah Hilda selesai membayar ongkos kami, lalu kami mulai berjalan kedalam gang menuju tempat dimana Hilda menghabiskan masa kecilnya. Kami tidak lagi membahas kedua anjing yang melewati kami tadi karena kami pikir itu adalah perbuatan pemuda iseng sekitar sini.
Di sepanjang gang menuju rumah hilda aku melihat cucuran darah yang mungkin dari kedua anjing tadi. Tapi melihat bekasnya, sepertinya bukan hanya kedua anjing tadi saja yang berdarah-darah berlarian seperti itu karena aku melihat banyak lagi bercak darah yang sudah mengering.
Beberapa diantaranya berasal dari rumah seorang warga yang pintu gerbangnya sedang terbuka, dengan sengaja aku mengintip kedalam dan begitu terkejutnya kami ketika melihat banyak sekali ekor anjing yang sudah dipotong dari anjingnya seperti sedang dijemur dan beberapa anjing hidup yang diikat dan dikandangi yang ekornya masih lengkap. Aku menanyakan hal ini pada Hilda, dan Hilda bilang dia tidak tau sama sekali untuk apa ekor-ekor tersebut dan kenapa mereka tega melakukan hal sesadis itu.
Sesampainya dirumah Hilda kami langsung bertemu ayah Hilda, kulihat ayahnya lumayan ganteng dengan postur tubuhnya yang agak kurus tetapi tinggi. Setelah menyalami ayahnya didepan rumah, kami dipersilahkan untuk masuk kedalam rumah Hilda.
Setelah melihat rumah Hilda, kami sepakat menilai bahwa Hilda berasal dari keluarga yang lumayan berada. Setelah didalam rumah Hilda, kami pun disambut lagi oleh ibunya Hilda. Aku berkali-kali memperhatikan, ayah Hilda yang sedang duduk di teras dan ibunya yang barusan kami salami. Sepertinya wajah manis Hilda turun dari ayahnya yang lumayan ganteng, karena ketika aku melihat ibunya ternyata tidak secantik yang kubayangkan ketika melihat wajah cantik Hilda.
Aku menanyakan keberadaan Devi pada ibunya Hilda, ibunya bilang Devi sedang bersekolah dan kemudian ibunya Hilda bercerita betapa malasnya Devi ketika disuruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti Hilda dulu.
Aku tidak begitu terkejut mendengar hal itu karena seperti yang pernah Hilda ceritakan kepadaku dulu kalau Devi sangat dimanja oleh kedua orang tuanya.
Kulihat beberapa foto diruang tamu Hilda, kulihat ada foto keluarga Hilda. Aku melihat Devi sama sekali tidak mirip dengan Hilda. Tubuh Devi gendut, dan kulitnya hitam. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan kata ini tetapi kupikir tidak ada kata lain yang bisa mendefenisikan rupa dari Devi jadi terpaksa kubilang kalau rupa Devi ini adalah "jelek".
Tidak berapa lama kemudian Devi tiba dari sekolah, kami lihat wajahnya yang "jelek" dan tubuhnya yang tinggi dan gendut itu mengenakan seragam SMP. Devi menyalami kami dengan wajah judesnya kemudian Devi berkata pada Hilda:
Akhirnya pulang juga kamu Hilda.
Kami semua sangat terkejut melihat perilaku Devi terhadap Hilda. Devi sama sekali tak menaruh rasa hormat pada Hilda sebagai kakaknya, bahkan seperti yang sudah kami dengar Devi memanggil Hilda tidak dengan sebutan "kakak" melainkan langsung memanggil Hilda dengan menyebut namanya. Hilda kemudian dengan sabarnya menjawab pernyataan Devi barusan.
Iya, temen-temenku pada ngajakin liburan disini.
Kami berpikir mungkin hal tersebut adalah akibat dari perlakuan manja orangtua Hilda kepada Devi, sehingga Devi sama sekali tak menghormati Hilda bahkan kedua orang tua nya.
Setelah duduk, mengobrol, dan makan, kami diajak Hilda untuk memetik rambutan dibelakang rumahnya. Kami pun menuju belakang rumah hilda dan kamipun tak terkecuali Hilda kembali terkejut, ternyata dibelakang rumah Hilda juga terdapat banyak anjing dan ekor anjing seperti pemandangan yang kami lihat tadi ketika menuju rumah Hilda.
Beberapa saat kemudian ayah Hilda keluar dari pintu belakang rumah Hilda, kami pun menanyakan hal ini kepada ayah Hilda yang pasti tau untuk apa ekor-ekor ini. Kemudian ayah Hilda menjelaskan:
Sekarang di kampung ini lagi musim usaha ekor anjing gini, kami ternak anjing sampe besar kemudian kami potong ekornya dan kami jual buat dijadikan semacam bahan untuk membuat pakaian di kota.
Aku sendiri bahkan kami sama sekali tidak mengerti, pakaian macam apa yang dibuat dari ekor anjing ini. Memang kami lihat ekor-ekor anjing yang kami tidak tau entah jenis apa ini terlihat sangat indah.
Hilda pun meminta sang ayah untuk tidak memotong ekor anjing-anjing ini selama kami berada disini, Hilda menjelaskan bahwa kebanyakan dari kami adalah penyayang binatang. Ayah Hilda tidak menjawab dan hanya pergi meninggalkan kami kembali kedalam rumah.
Hilda pun menyuruhku dan Rudi untuk memanjat pohon rambutan yang tidak jauh dari rumahnya untuk memetik rambutan yang dirasa dapat dijangkau dengan tangan. Sedangkan Heru menggunakan gala untuk rambutan matang yang kami rasa tidak dapat kami jangkau dengan tangan. Sedangkan Hilda dan Sinta hanya memandori kami saja sambil memerintah ini dan itu.
Rudi: "Kalian cewe - cewe bisanya cuma mandorin aja, bantuin lah"
Sinta: "Percuma ada laki-laki, ngapain kami yang cewe-cewe ikutan kerja?"
Heru: "Bukannya cewe-cewe yang sering neriakin kesetaraan gender?"
Kami semua pun tertawa mendengar perkataan Heru barusan, dan aku melihat wajah Hilda dibawah tertawa sangat senang melihat tingkah lucu kami.
Setelah sekian banyak rambutan berhasil kami petik, kami semua mulai mencabutnya satu-persatu dari ranting untuk dimasukan kedalam karung yang akan kami bawa kembali ke Jogja seminggu lagi.
Hilda masuk kedalam rumah untuk mengambil karung tapi sepertinya karung yang dimaksud tidak terlihat jadi kami pikir Hilda entah mencari atau pergi membeli karung karena lama sekali Hilda tidak kunjung kembali dan membantu kami mencabut rambutan dari rantingnya.
Sampai kami selesai mencabuti rambutan dari rantingnya, Hilda tak kunjung kembali. Akhirnya kami mulai memakan rambutan-rambutan yang sudah kami cabut dari rantingnya sambil bercerita tentang kampung Hilda dan keluarganya.
Heru: "Tapi aneh ya keluarganya si Hilda, masa si Hilda baru kali ini pulang kerumah setelah satu semester tapi mukanya kayak gak seneng gitu. Kayanya keluarga Hilda biasa aja liat si Hilda pulang."
Rudi: "Iyaya, udah gitu si Hilda mirip siapanya sih? kok sama adiknya beda banget. Beda jauh."
Aku: "Mirip bapaknya mungkin, men"
Sinta: "Biarpun bapaknya agak ganteng tapi aku perhatiin gak ada mirip-miripnya si Hilda sama bapaknya, ham"
Aku: "Udahlah udah udah, makan dulu rambutannya ini. Kok malah jadi gosip sih, hahaha"
Hilda pun tiba, kami bersorak dan bertanya kenapa begitu lama. Hilda bilang kedua orangtuanya menanyakan kami berempat.
Aku: "Ohya? nanyain gimana?"
Hilda: "Cuma nanyain, 'mereka mau ngapain kesini?' 'berapa lama?' 'terus kalian mau kemana lagi?' gitu-gitulah, maklum aja soalnya aku belum pernah ngajak temen kesini apalagi sampe nginep"
Setelah itu, sore itu, kami kembali masuk kedalam rumah Hilda untuk mandi, makan, dan mengobrol di lantai atas rumahnya. Tak lama, kamipun tertidur karna lelahnya perjalanan dan memetik rambutan tadi.
Keesokan paginya kami sarapan bubur ayam yang letaknya berada di depan rumah Hilda. di depan rumah Hilda terdapat tanah kosong yang biasanya digunakan warga sekitar untuk kegiatan "senang-senang". Bahkan warga membuat semacam gawang untuk anak sekitar bermain bola. Sekitar lapangan tersebut ada beberapa warga yang berjualan makanan seperti bubur yang kami makan ini salah satunya.
Ketika kami baru saja mulai makan, Hilda dipanggil oleh Devi dari depan rumah. Devi bilang ibunya memanggil Hilda. Hilda pun langsung berlari menuju rumah dan agak lama ia tak kembali.
Ketika kami sedang makan, ada dua orang bapak-bapak dan seorang ibu-ibu yang juga sedang sarapan bertanya-tanya pada kami. Mereka bertanya pada kami soal darimana asal kami, untuk apa kami datang ke kampung ini, dan apa kegiatan kami. Kemudian mereka bercerita-cerita soal keluarga Hilda.
A = Bapak - Bapak 1
B = Bapak - Bapak 2
C = Ibu - Ibu
B: "Kalo keluarga si Hilda itu dari dulu tertutup, gak pernah mau gabung-gabung sama warga sini. Karna orang kaya kali ya."
A: "Bahkan kami warga sini aja yang udah lama tetanggaan sama mereka, gak tau tuh mereka aslinya orang mana. Bahkan gak pernah ada yang berkunjung ke rumah mereka."
Aku: "Masasih gak pernah ada yang berkunjung, pak?"
C: "Iya, bahkan kalo lebaran sekali pun gak ada. Kalian ini yang pertama kalinya berkunjung kerumah mereka sepengetahuan kami. Bahkan mereka gak pernah tuh pergi liburan atau kemana. Dirumah aja."
A: "si Hilda juga kan makanya bisa kuliah di Jogja karna warga sini yang nyuruh."
Sinta: "HAH?! Warga sini pak? maksudnya??? kok bisa????"
B: "Iya, warga disini kasian liat si Hilda tiap hari kerjaaa terus. Pulang sekolah kerja, pulang sekolah kerja. Dari masih kecil udah begitu, dulu mereka sih punya pembantu tapi gatau tuh kemana."
Rudi: "Lagian namanya anak ya wajarlah dikuliahin pak."
C: "Loh? emang kalian belum tau???"
Raut wajah penduduk ini nampak sangat amat heran melihat kami. Kami bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Kami menjelaskan kepada mereka bahwa Hilda sama sekali tidak pernah bercerita soal tempat asalnya atau keluarganya.
Betapa terkejutnya kami ketika mengetahui bahwa Hilda ternyata bukanlah anak kandung dari kedua orang tuanya. Warga bilang ketika masih bayi Hilda diadopsi entah darimana, karena warga sendiri tidak pernah melihat ibu Hilda mengandung sebelum menggendong-gendong Hilda didepan rumah.
Warga juga bercerita bahwa tidak ada seorang wargapun yang tau usaha mereka. Ketika kami menanyakan usaha ekor anjing yang ayah Hilda bilang sedang musim dikalangan warga sini, warga membantahnya dan bilang kalau hanya ada 2 orang yang melakukan hal tersebut di kampung ini. Dan memang 2 orang tersebutlah yang tidak pernah bercengkrama dengan warga sekitar. Bahkan warga pun sama sekali tidak tau menau untuk apa ekor-ekor anjing itu dipotong.
Hal ini menyadarkan kami, sekarang kami tau jawabannya kenapa Hilda sama sekali tidak mirip dengan anggota keluarganya yang lain atau kenapa keluarga Hilda sangat datar ketika mengetahui Hilda pulang.
Warga bercerita kalau pernah warga ramai-ramai melabrak rumah Hilda dan memaksa agar orang tua Hilda menguliahkan Hilda di luar kota.
Sinta: "Jadi si Devi itu adopsi juga ya bu?"
C: "Kalo si Devi baru anak kandung mereka, makanya kalian perhatiin aja gimana bedanya perlakuan mereka berdua ke si Devi atau ke si Hilda."
A: "Dulu sih ada yang bilang mereka pengen punya anak tapi entah kenapa ibunya gak bisa-bisa hamil, jadi di adopsilah si Hilda. Tapi setelah mungkin ikut program ini-itu barulah akhirnya ibunya bisa hamil si Devi itu. Jadi si Devi itu baru bener-bener anak kandung mereka."
Akhirnya rasa penasaran kami selama sekian tahun tentang keluarga dan asal muasal Hilda sudah sedikit terjawab di meja makan bubur ayam ini dan oleh ketiga warga ini. Kami begitu terkejut tak menyangka Hilda yang murah senyum ternyata memiliki masa lalu yang kelam.
Tak mengherankan melihat Hilda sangat senang ketika mendengar kabar bahwa kami akan pergi berlibur kerumahnya, dia merasa memiliki keluarga baru yang begitu menyayanginya. Bahkan mungkin Hilda baru kali ini merasa "memiliki".
Tak lama Hilda kembali, Hilda bilang pada kami bahwa ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya dirumah. Begitu Hilda bergabung dengan kami, tak satupun dari kami berani menyinggung soal yang diceritakan oleh warga tadi.
Kami semua merasa sedih mendengar kenyataan bahwa walaupun memiliki keluarga, tapi Hilda merasa tidak ada yang menyayanginya dirumah. Hilda merasa beruntung memiliki kami yang selalu ada untuknya dan begitu menyayanginya.
Setelah selesai sarapan, Rudi, Heru, dan Sinta memutuskan untuk berkeliling di kampung tersebut untuk sekedar cari angin dan melihat-lihat. Mereka juga mengajakku tetapi aku menolak dengan alasan ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Hilda. Mereka bertiga paham maksudku, lalu mereka langsung pergi meninggalkan kami berdua.
Hilda menyuruh mereka berhati-hati dan sepertinya Hilda sangat senang ketika mendengar bahwa aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Kami berdua pergi menuju teras rumah Hilda dan duduk di kursi yang ada disana.
Dengan sedikit gugup aku mulai memberanikan diri untuk menyinggung tentang apa yang dikatakan oleh warga di meja makan tadi. Aku bertanya pada Hilda apakah benar yang dikatakan oleh ketiga orang tersebut.
Mata Hilda berkaca-kaca, seperti ada yang tertahan dihatinya. Aku membayangkan betapa sesaknya hati Hilda harus menahan cerita pedih yang dialaminya.
Hilda menarik nafas, kemudian mulai becerita yang sebenarnya walaupun tidak semuanya. Hilda bilang kalau dia begitu senang mendengar kami akan berlibur dirumahnya karena ia merasa terlindungi ketika ada kami didekatnya. Tentu saja kami sebagai teman tidak akan membiarkan siapapun untuk menyakiti Hilda, kami sangat menyayangi Hilda.
Aku terharu mendengarnya, betapa kesepiannya Hilda selama ini. Satu-satunya yang kusesali adalah, kenapa kami harus mengenalnya ketika seumur ini. Kenapa Tuhan tidak mempertemukan kami ketika Hilda masih kecil, sehingga kami dapat melindungi Hilda di masa-masa sulitnya.
Setelah beberapa jam kami berdua bercerita ini dan itu, Rudi, Heru, dan Sinta kembali sambil tertawa. Sepertinya mereka baru saja saling adu lelucon sepanjang perjalanan mereka mengelilingi kampung. Hilda sontak tersenyum melihat tingkah laku teman-temannya itu. Sambil menghapus sisa air mata, Hilda kemudian ikut sedikit tertawa dan bertanya apa yang mereka bercandakan.
Sinta bercerita bahwa Heru sempat terpeleset di sawah sehingga mereka tertawa bersama sepanjang jalan. Setelah mendengar cerita itu, Hilda sontak ikut tertawa terbahak-bahak. Aku sendiri hanya ikut sedikit tertawa sambil melihat wajah cantik Hilda, aku senang melihat Hilda bisa sebahagia ini. Aku membayangkan betapa keberadaan kami dapat membuatnya nyaman dan merasa terlindungi. Dalam hati aku berjanji akan terus menjaganya.
Di malam hari ketika kami sedang mengobrol dan bercanda di lantai atas rumah Hilda, tiba-tiba Devi berteriak-teriak di lantai bawah. Kami juga mendengar ibu mereka menangis, ayahnya juga berteriak-teriak membalas teriakan Devi. Kami tidak begitu tau apa yang mereka ributkan. Yang kami tau malam itu Devi meninggalkan rumah, dan ibu Hilda menangis sepanjang malam. Malam yang sangat mencekam.
Keesokan paginya, giliran ibu Hilda yang berteriak-teriak pada ayah Hilda. Ayah Hilda pun tak mau kalah membalas teriakan ibu Hilda kearahnya. Kami semua terdiam. Kami hanya mendengar beberapa kata.
SAYA BUNUH KAMU! AWAS KAMU! SAYA BUNUH SEMUA ANGGOTA KELUARGA INI!!!
Demikian teriakan ayah Hilda pada istrinya. Hilda menangis, tapi tidak bersuara. Hanya air matanya yang mengalir. Sinta sambil ketakutan mendengar teriakan demi teriakan mencoba memberanikan diri dan menenangkan Hilda. Rudi mencoba mengintip dari tangga. Kemudian Rudi berlari menuju kearahku dan dengan wajah ketakutan berkata:
BAPAKNYA HILDA NODONGIN CUTTER HAM!!! BAHAYA, AYOK PULANG AJA KITA SIANG INI!!!
Kami semua sepakat untuk langsung pulang ke Jogja setelah keributan ini. Yang pasti kami mengajak Hilda, tidak akan kami biarkan sesuatu terjadi pada Hilda, dia terlalu berharga bagi kami.
Aku merasa, ada yang aneh dengan keluarga ini. Aku merasa seperti ada sesuatu yang ditutup-tutupi oleh keluarga ini sehingga Hilda merasa tertekan. Dan sepertinya bukan hanya aku saja yang berpikiran demikian, sepertinya teman-temanku yang lain juga berpikiran demikian. Apalagi melihat perlakuan keluarga ini pada kami, yang cenderung ketus dan sepertinya tidak nyaman dengan keberadaan kami.
Setelah ibu Hilda juga pergi meninggalkan rumah, keadaan mulai mereda. Teriakan-teriakan mengerikan itu sudah berhenti. Kini saatnya kami bergegas beres-beres barang dan secepatnya menuju terminal. Liburan kami yang menyenangkan batal, saatnya pulang.
Hilda memaksa kami untuk membawa rambutan yang sudah kami petik, walaupun kami menolak dengan alasan keamanan tetapi Hilda tetap memaksa.
Kami menuju ke belakang rumah Hilda, kami lihat karung rambutan kami robek dan sebagian rambutannya berceceran. Aku menyuruh Rudi dan Sinta melanjutkan pengepakan barang terlebih dahulu dan aku menyuruh Heru untuk mencari karung.
Kemudian aku berdua bersama Hilda mengutipi rambutan yang berceceran tersebut. Aku bertanya pada Hilda tentang apa yang kurasakan tentang keadaan seisi rumah ini. Tentang hal yang sepertinya ditutup-tutupi oleh keluarga aneh ini.
Hilda mulai mau bercerita sesuatu yang ditutupi tersebut. Hilda bilang ada sesuatu yang harus kami ketahui keluarganya. Ketika baru akan mulai bercerita, panggilan nama Hilda dari arah belakang kami tepatnya didepan pintu belakang rumah Hilda mengagetkan kami berdua. Ternyata itu adalah ayahnya Hilda. Ayahnya memanggil hilda untuk ikut masuk kedalam rumah, seperti ada yang ingin ditunjukkan oleh ayahnya.
Hilda ketakutan, aku juga demikian. Dengan berat hati aku melepaskan Hilda untuk mengikuti ayahnya kedalam rumah. Kemudian aku melanjutkan mengutipi rambutan yang berceceran.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara teriakan Hilda dari dalam rumah disertai suara barang yang dibanting. Aku sontak berdiri dan melihat ke arah rumah, aku mendengar suara langkah kaki Hilda berlari kearahku.
Ketika aku baru meliat Hilda berlari dari dalam, ayahnya tiba-tiba menarik tangan Hilda dari arah belakang dan menarik tubuh hilda menodongkan pisau cutter ke leher Hilda.
ILHAAMMMM!!!
Hilda berteriak. Aku masih belum yakin apa yang sebenarnya terjadi, dengan tiba-tiba ayah hilda menyanyat leher hilda didepan mataku. Aku melihat Hilda jatuh, lehernya mengeluarkan darah dan nafas Hilda terdengar seperti sapi yang sedang diqurban.
Dengan reflek aku meraih batu yang ada didekatku, melemparkannya kearah ayah Hilda yang perlahan berjalan kedalam rumah. Aku melemparkan beberapa batu berkali-kali sambil berteriak
BANGSAAATTT!!! DIA ANAKMU ANJING!!! BINATANG!!!
Sepertinya Heru dan yang lainnya mendengar teriakanku kemudian berlari kearah kami. Akupun langsung berlari kearah Hilda langsung kututup luka di leher Hilda dengan tanganku.
Aku panik dan bingung, melihat keadaan Hilda kemungkinan Hilda tidak bisa lagi selamat. Sambil menangis aku menyuruh Heru dan Rudi untuk memanggil bantuan dari warga sekitar. Heru dan Rudi langsung berlari sambil tersedu-sedu, aku melihat Santi menangis. Santi sedih dan takut.
Hilda melihat kami berdua, seperti ada yang ingin dikatakannya tetapi Hilda sudah tidak bisa lagi berbicara.
Aku: "Kamu jangan ngomong dulu Hilda, kamu diem dulu! gapapa, ada kami disini."
Santi: "Iya kamu diem dulu Hilda!"
Santi berkata demikian sambil menangis, kemudian santi membantuku menutupi luka di leher Hilda. Hilda tersenyum kearah kami, kami tidak membalas senyuman manis Hilda itu karena kami hanya menangis melihatnya seperti itu. Tak lama, mata Hilda mulai sayu seperti akan tertidur. Aku dan Santi semakin panik, kami berdua memanggil nama Hilda beberapa kali tetapi pada akhirnya mata Hilda terpejam dan tubuhnya melemas.
Sedih sekali rasanya melihat seseorang yang begitu kusayangi harus dibunuh dan wafat didepanku. Kemudian terdengar suara beberapa langkah kaki berlari kearah kami. Ternyata itu adalah Rudi dan Heru membawa beberapa warga dan warga tersebut membawa beberapa peralatan P3K.
Santi: "KALIAN TELAT RUD! KALIAN TELAT KALIAN TELAT!!!"
Santi menangis sejadi-jadinya. Kami baru tau kisah masa lalu Hilda yang kelam, kami belum sempat membahagiakan Hilda, dan sekarang kami harus kehilangan Hilda.
Rudi: "Tadi kami liat bapaknya jalan kearah sawah ham."
Aku berdiri, aku berniat mengejar ayah Hilda. Aku menitipkan jasad Hilda pada warga disana.
Aku: "Pak, nitip dulu ya. Tolong masukin kedalam rumah."
Aku langsung berlari kearah luar untuk mengejar ayah Hilda.
Heru: "ham, mau kemana kamu? aku ikut!"
Rudi: "Aku juga!"
Heru dan Rudi berlari mengikutiku di belakang, kemudian Sinta juga ikut berlari mengikutiku dibelakang Rudi dan Heru. Hatiku penuh dendam, kesedihanku setelah kehilangan Hilda masih belum menghilang ketika aku mengejar ayah Hilda.
Aku melihat ayah Hilda mulai memasuki sawah sambil berlari kecil, aku berteriak dan warga terlihat heran bertanya-tanya apa yang terjadi. Tak satupun dari kami menjawab pertanyaan warga.
Aku: "WOI BANGSAT! SINI! MANUSIA MACAM APA YANG TEGA BUNUH ANAKNYA! APA MASIH BISA DISEBUT MANUSIA KAU HAH?! KENAPA LARI? WOI!"
Kukejar ayah Hilda, ayah Hilda mulai berlari kencang memasuki arah pepohonan serimbun hutan tapi sepertinya bukan hutan. Disana ada semacam villa dan ayah Hilda masuk kedalamnya.
Kami ambil batu dan kami masuki villa tersebut, kulihat di lantai atas ayah Hilda memperhatikan kami ketika memasuki villa tersebut. Rudi berkata "ITU HAM!!!" kemudian langsung kami berlari ke arah atas bangunan lumayan megah itu. Ayah Hilda seperti ketakutan masuk kedalam semacam kamar dan langsung menutup pintunya.
Heru mendobrak pintunya. Kemudian dimulai dengan sinta, aku dan yang lainnya pun ikut melempari ayah Hilda dengan batu. Ayah Hilda kesakitan, tangannya mencoba menghalangi batu yang menjatuhinya tetapi entah berapa batu yang kami lempar sehingga tetap saja terkena.
Sampai akhirnya dia menjatuhkan pisau cutter yang dibawanya, masih ada bekas darah Hilda. Kami melemparinya sambil mengucapkan berbagai sumpah serapah.
ANJING! MANUSIA BANGSAT! MATI KAU ANJING!
Setelah batu kami habis, dengan sigap langsung kutendang dia kearah tembok. Rudi dan Heru juga ikut menendang entah berapa kali, mereka melontarkan berbagai bahasa makian.
Setelah itu kucekik lehernya sampai ke sudut tembok ruangan itu, aku tidak ingat dimana aku mendapatkannya tetapi yang kupegang sekarang adalah sebuah papan dengan paku yang menembus papan itu.
Dengan rasa benci dan dendam yang meluap-luap aku menusukkan paku tersebut ke kedua mata ayah Hilda berkali-kali sampai ayah Hilda memohon-mohon ampun. Kulihat dari kedua matanya mengeluarkan darah, sepertinya dia sudah buta. Tetapi Rudi dan Heru masih saja memukulinya.
Karena merasa ngeri melihatnya, Sinta kemudian memisahkan kami dan menyuruh kami menyudahi penganiayaan tersebut. Sinta pun menyuruh ayah Hilda duduk sambil membentak.
DUDUK!
Kami kembali merasa bersedih setelah ingat lagi kalau kami tidak bisa lagi tertawa riang bersama Hilda, kami telah kehilangan Hilda. Aku tidak bisa lagi melihat senyum manisnya.
Sinta lagi-lagi menangis. Aku dengan memaki dan membentak, menanyakan apa yang sebenarnya ditutupi oleh keluarga itu. Rudi dan Heru beberapa kali menendang kepalanya sehingga akhirnya ayah Hilda berucap.
Hilda tau, dia tau. Dia tau kalau dia bukan anak kandung kami. Dia tau aku selingkuh dengan pembantuku. Dia tau kami tidak menyayanginya, dia tau kami membencinya.
Mendengar itu, aku langsung teringat cerita tentang pembantu Hilda yang menangis-nangis sambil menggendong bayi itu. Ternyata itu adalah selingkuhan si bajingan ini, dan kemungkinan Hilda sebenarnya adalah anak dari seorang pembantu selingkuhan binatang ini.
Tapi aku sedikit tak percaya dengan apa yang dikatakan, apa karna gara-gara itu? hanya itu yang mereka tutupi selama ini? rasanya tidak mungkin. Kami masih enggan mencari tau lebih dalam karna kami masih dalam suasana duka.
Kami membawa ayah Hilda kembali kerumah untuk diserahkan kepada pihak yang berwajib, sesampainya diperkampungan ayah Hilda sempat mendapatkan beberapa bogem mentah dari warga yang kami lewati.
Sesampainya dirumah kami lihat jasad Hilda sudah digeletakan diruang depan, warga sudah membersihkan darah dari jasadnya sehingga aku bisa melihat luka sayatan di leher Hilda. Melihat itu Rudi dan Heru kembali emosi dan melayangkan pukulan beserta tendangan kearah kepala ayah Hilda sampai ayah Hilda yang tidak dapat melihat itu memohon ampun.
Kami berempat menangis sedih. Hilda, gadis cantik, pintar, dan murah senyum itu kini sudah tiada. Masih terngiang jelas dikepalaku suara tawanya kemarin saat bercanda bersamanya. Masih teringat senyum dan tawa manisnya.
Hilda, seorang anak yang baru saja memiliki keluarga baru kini harus kesepian lagi diluar sana. Tak terbayangkan kembali ke rutinitas kami tanpa Hilda, tanpa tawanya danpa senyumannya. Kini kami harus kembali ke Jogja hanya berempat, tanpa Hilda.
Kami bersamamu, Hilda. Kami menyayangimu.
Kukira tentang apa gitu. Ternyata dalam juga. Persahabatan & Cinta
ReplyDelete